Sabtu, 23 Juli 2011

Surah Al Maa'un Ayat satu, Kita-kah ? ( hanya sebuah renungan kecil )



Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat orang enggan untuk keluar rumah. Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang. Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah. Ibunya masih tertidur disampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri. " Allahu Akbar..Allahu Akbar" kumandang adzan maghrib terdengar saling bersautan dari corong-corong spiker masjid, suarayang mengajak orang menemui Sang khaliq penciptanya.

" Bu..bu..itu udah adzan mau sholat gak?" teriak anaknya membangunkan sang ibu, tapi ibunya masih terus tertidur. Anak itu diam , lalu kemudian meneruskan bermain mobil-mobilan. Setelah hampir setengah jam asyik bermain , anak tersebut kembali membangunkan ibunya " Bu....bu..., ...ibu gak sholat...... bangun dong bu....angga lapar nih !!" teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun. Karena keletihan membangunkan ibunya tetapi tidak ada hasil anak itu kemudian tertidur disamping ibunya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang sakit keras. Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi, Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar. Dia bangun lalu berlari kearah masjid di seberang jalan, kemudian menengadahkan tangan kepada jama'ah masjid yang hendak melaksanakan sholat. Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama'ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibu nya muntah-muntah lalu kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.


" Aro'aitalladzi yukajjibu biddin, fadza likalladzi ya du'uul yatim wa la yaa khuddu 'alaa thoo 'amil miskin"terdengar suara imam membaca surat Al Maa'un dari dalam masjid tentang para pendusta agama. Semua jama'ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa'un tersebut terlantar di sudut ingatan. " Iqra !" kata malaikat jibril kepada Muhammad SAW, tidak ada kitab disana , Rasulullah SAW pun tidak bisa membaca, lalu apa yang mesti di baca ? " Iqra bismirabbikalladzi khalaq" bacalah dengan menyebut nama Tuhan Sang Maha Pencipta, surah itu seperti berteriak kepada kita "bacalah sekelilingmu, bacalah keadaan lingkunganmu, baca dan berkacalah pada alam semesta dan tunjukan kepedulianmu" dan kita hanya tertunduk sambil terus membolak-balik kitab suci.

Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan, air yang bagi mahluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Tuhan terakhir kepadanya, dia tertidur sambil memegang perut didada ibunya. Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya di ketemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.

Ketika malam nanti hujan menghampiri kita, disaat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan disudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita

Ini hanya sebuah renunga buat diri kita. Semoga Kita bisa memperbaiki diri kita untuk menjadi seorang yang lebih baik .
memberi dan menerima semua akan diminta pertanggung jawabannya...
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=195205471716

Jumat, 22 Juli 2011

ustadz telandan


Alkisah...ada seorang Mubaligh Muda yg bernama Ahmad.. Ia memberikan ceramah kepada jama’ahnya seperti biasa. jama’ahnya banyak yang menangis berurai air mata mendengarkan nasehat-nasehatnya yang menyentuh.
Pulang ceramah,.. seperti umumnya mubaligh, ia diberi amplop dengan jumlah cukup besar, Rp. 1,5 juta.
Saat melihat amplop itu disodorkan,.. Ahmad merenung... Seperti biasa, ia tak mau dibayar.... Hatinya mengatakan salah mendapat uang dari kegiatan dakwah...pengajian dan dari memberikan nasehat pada orang lain.
Berdakwah mengingatkan orang pada kebaikan adalah kewajiban setiap Muslim. Mengapa harus dibayar..?
Yang ia paling takuti adalah Syetan tanpa terasa akan membelokkan niatnya berdakwah menjadi mencari uang.
Syetan akan merusak keikhlasannya melalui uang. Itu pasti, dan jarang orang lulus dengan ujian itu.dan Ahmad tidak mau itu terjadi pada dirinya.
Ia sangat menjaga niatnya... Ia tidak menganggap sepele urusan niat.
Karena niatnya salah sedikit saja, melenceng dari keikhlasan, ia akan masuk ke dalam jebakan Syetan yang susah dilawan.

Ahmad merasakan hatinya berbicara pada dirinya:
“ Ahmad,.. coba lihat dirimu,.. kamu masih muda,.. sehat,.. punya kaki yang bisa dipakai untuk berjalan.. Walaupun tidak punya pekerjaan tapi selama ini kamu belum pernah kelaparan..Walaupun uangmu di saku sekarang hanya Rp. 15 ribu, bukankah Allah selama ini mencukupi rizkimu...? Bukankah banyak orang yang lebih membutuhkan uang itu dibandingkan kamu..?
Kalau pun butuh.., apa tidak malu menerima uang dari masjid..?
Dari nasehat-nasehat agama yang kau berikan...? Bila kau menceramahkan agama,.. memberikan nasehat tentang keharusan ikhlas dan ketakwaan, apakah kamu sendiri sudah melaksanakannya....?
Bukankah engkau harus melakukan dan mencontohkannya apa-apa yang engkau ceramahkan...?”

Renungan seperti itu selalu ia lakukan bila ceramahnya ada yang membayarnya.
Setelah merenung begitu,... ia selalu tak sanggup menerima amplop berapa pun besarnya walaupun saat itu hanya ada beberapa rupiah uang disakunya.
Ia selalu merasa malu kepada dirinya dan kepada Allah.
Ia menyadari betul..memberikan nasihat dan pengajian bukan untuk mencari uang... Rezekinya yakin sudah ditanggung oleh Allah ia tapi tidak mau mendapatkannya dari berdakwah.
Ia merasa dirinya naif bila menerimanya... Ia juga merasa bila menerimanya berarti ia memakan uang masjid,.. ditambah ada orang-orang yang memaksakan iuran mengumpulkan uang honor tersebut. Ia paling tidak mau itu.

Kalau pun masjid itu uangnya banyak karena berada di tempat elit, ia merasa tetap saja hatinya yang akan mudah berbelok tanpa terasa, menjadi senang menerima uang.
Itu bisa melenakan hatinya... Ia bisa tidak mau berdakwah karena tidak dibayar. Dan itu naif. Ia merasakan malu menghubungkan uang dengan keharusannya saling menasehati.
Bagaimana bila sebuah masyarakat butuh nasehat dan siraman ruhaninya, tapi tidak jadi gara-gara tidak ada uang untuk membaya honor penceramahnya..?

Haruskan saling menasehati terhalang oleh ketiadaan honor buat si penasehat.? Mengapa saling menasehati dan mengingatkan kebenaran jadi urusan uang..? Yang membuatnya kesel lagi, kebetulan, kondisi masjid itu tidak terlalu bagus bahkan ada beberapa bagian yang rusak.
Tapi mengapa untuk dirinya uang itu dipaksakan ada tapi untuk memperbaiki masjidnya sendiri tidak diusahakan?

Ahmad memanggil staf DKM dan jama’ahnya yang belum pulang.
Ia memberikan renungan dan menyadarkan jama’ah tentang kondisi masjid. Yang berhak diberi uang itu bukan dirinya,.. tapi masjid itu yang harus diperbaiki... Mengapa mereka memaksakan membayar dirinya, sementara bagian masjid ada yang rusak tidak diperbaiki..?
Amplop itu pun ia minta untuk memperbaiki masjid. Jama’ah merasa malu mendengarnya ada mubaligh hatinya semulia itu.
Sudah pengajiannya menyentuh,.. tidak mau dibayar lagi.
Dan pada jam itu ternyata terkumpul Rp. 2,5 juta untuk dana awal memperbaiki masjid.

Saat pulang,.. jama’ah mengantarkannya pergi ke pintu halaman masjid. Mereka tahu,....... Ahmad datang jauh-jauh dan tentu mereka ingin
mengantarkannya Tapi Ahmad selalu menolaknya diantar atau dijemput.
Padahal,ia tidak punya kendaraan.... Ia hanya menyadari dirinya sehat,.. tidak ingin merepotkan orang dengan memanjakan dirinya.
Yang ia rasakan nikmat bukan amplop atau diantar mobil tapi do’a jama’ah pada mengalir untuk dirinya melepas kepergiannya.

Do’a agar selamat, agar dilindungi Allah, do’a untuk keluarganya, disamping ucapan terima kasih tak terhingga.
Ahmad merasakan, do’a-do’a tulus ikhlas dari orang-orang kecil itu jauh lebih berharga, jauh terasa lebih nikmat meresap ke dalam hati dan lebih besar nilainya dari uang puluhan juta.
Do’a-do’a tulus itu akan menjadi bekal hidupnya di masa depan. Ia kemudian pamit dan berjalan kaki dengan uang disakunya hanya Rp. 15.000.

Ahmad sangat yakin dengan menjaga hatinya seperti itu,.. Allah justru akan memberikan pertolongannya yang jauh lebih besar dari arah yang tak disangka-sangka. Dan itu sering ia alami.
Itulah keyakinannya sehingga ia tidak menggantungkan bantuannya pada manusia.... Bantuan Allah sudah menjadi keyakinannya, menjadi jiwanya.

Saat ia mulai berjalan menjauhi masjid, ia berharap pertolongan Allah datang lagi dalam bentuk apa saja yang bisa mengantarkannya pulang .
Ia berjalan dan terus berjalan... Biasanya pertolongan Allah itu tidak lama sudah datan seperti yang ia sering alami, ketika sedang berjalan kaki pulang dari luar kota sesudah memberikan taushiyah pengajian, tiba-tiba sudah berada di dekat rumahnya. Allahu Akbar …!!
Matanya terbelalak tidak percaya, tapi sering terjadi.
Ia hanya berjalan mengandalkan kakinya yang diamanatkan Allah untuk digunakan. Itu saja yang ia yakini.

Siang itu,... Ahmad terus berjalan sambil hati kecilnya berharap bantuan Allah lagi. Tapi......., setelah sekian jam berjalan, bantuan itu tidak datang juga.
Ia heran dan bertanya-tanya dlm hati.. Tapi kemudian segera meluruskan hatinya... Ia berbicara pada dirinya:
“Ahmad... kamu sehat dan punya kaki, kenapa tidak dipakai..?
Kenapa harus bergantung pada pertolongan yang pernah dirasakan..?”
Ia pun beristighfar menyadari itu dan meniatkan pulang berjalan kaki.
Ia pun menghilangkan harapan yang bisa merusak keikhlasannya.

Tanpa terasa,... dari dhuhur hingga sudah larut malam ia telah berjalan....
Di tengah jalan, ia masuk masjid dan ia yakin ada sesuatu yang salah pada dirinya karena tidak biasanya seperti itu.
Saat shalat, ia menangis sejadi-jadinya....
Ia malu kepada Allah dan merengek-rengek memohon ampun.
Ia merasa keikhlasannya di pengajian tadi tengah diuji.

Ia merasa hatinya berkata pada dirinya:
“Ahmad, engkau sudah berbuat mulia,.. menolak bayaran dan kau pakai untuk masjid... Dan engkau berniat pulang dgn jalan kaki , tapi mengapa engkau berharap balasan...? Dimana keikhlasanmu..? Allah sering memberikan pertolongan kepadamu dan pertolongan Allah kepada kekasih-kekasih-Nya adalah pasti. Tapi mengapa engkau menjadikan itu sebagai andalan...?
Bisakah kedekatanmu pada kepada Allah tidak kau jadikan andalan mendapatkan kemudahan..? Mana perjuanganmu..?
Mana bukti keikhlasanmu..? Tunjukkan dulu usahamu yang maksimal mempergunakan apa-apa yang sudah dianugrahkan Allah kepadamu.
Allah sudah memberimu badan,.. kaki dan kesehatan,.. mengapa tidak kau gunakan..?
Walaupun berharap balasan dari Alah adalah sebuah keikhlasan,.. tapi tetap itu masih berharap balasan.
Itu belum keikhlasan yang sesungguhnya...
Keikhlasan yang sejati adalah tidak berharap balasan dari siapa-siapa,bahkan dari Dia sekalipun... Seseorang berbuat kebaikan adalah untuk kebaikan dirinya, seseorang berbuat mulia untuk kemuliaan dirinya,.. Allah membalasnya atau tidak itu urusan-Nya... Yang jelas, Allah pasti tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan seorang hamba-Nya.
Allah ingin melihat bukti keikhlasanmu tanpa Allah memberikan bantuan kepadamu. Apa engkau tidak ikhlas dengan kebaikanmu...?”

Mendengar suara hatinya tsb, ia tak tahan dengan perasaan malunya.
Ia sujud menangis. Air matanya membasahi sajadahnya:
“Ya Allah, ampunilah aku... Bukan berharap Engkau memudahkan urusanku, tapi pertolongan-Mu selama ini selalu terbukti nyata padaku....
Aku jadi kebiasaan.... Sekarang aku malu kepada-Mu ya Allah…
Aku menyadari,.. seharusnya aku tidak berharap begitu,.. itu urusan Engkau menolong aku atau tidak.
Sekarang aku ikhlaaaas… dengan perjalanan pulangku ini, maafkan aku ya Allah, aku mohon ampuun padamu ya Allah…!”
sambil terus terisak-isak. Ia bermalam di masjid itu karena kelelahan.

Pagi harinya, ia merasa jiwanya segar dan pulih kembali.
Kesalahan hatinya telah disadarinya dan ia merasa Allah sudah mengampuni kesalahannya.
Dari masjid itu ia berjalan kaki lagi singgah dari masjid ke masjid untuk shalat dan istrahat.
Sesekali diisi berjam-jam ngobrol memberikan taushiyah.
Ia baru tiba di rumahnya setelah tiga hari berjalan kaki.... Ia merasakan perjalanannya nikmat luar biasa.
Uangnya disaku tinggal sepuluh ribu rupiah,.. lima ribu ia pakai makan supermie dua kali dalam perjalanan pulang yang “berkesan” itu.

Ketika saya tanya mengapa pertolongan Allah tidak datang saat itu..?
Ia menjawab: “Karena saya mengharapkannya. Itulah kesalahan saya. Saya belum ikhlas. Itulah yang saya tangisi dan memohon ampun. Ketika saya tidak bergantung pada anugrah kemudahan Allah yang sering diberikan kepada saya, jutsru sering keajaiban Allah itu datang dengan mudahnya,” ujarnya.

“Kelemahan kita umumnya, jangankan kemudahan dari Allah, bantuan dan pertolongan dari manusia saja sering membuat kita bergantung kepada mereka dan lupa kepada hakikat yang memberikannya. Belum lagi bantuan itu kita pergunakan untuk tujuan-tujuan yang salah dan tidak pada tempatnya.
Itulah yang harus kita hindari bila hati kita ingin hidup dan bercahaya.”

Subhanallah… saya sangat malu pada diri sendiri mendengar kisahnya...!!

catt : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=208725119175864&set=o.158496477521946&type=1&theater