Sabtu, 29 September 2012

OH.. BAPAK.....

Coba sejenak kau lihat raut keletihan di wajah ayahmu. Lihatlah helai rambut yang memutih di kepalanya dan kau akan melihat betapa ayah, bapak atau papamu telah bekerja membanting tulang dan menguras keringat demi membesarkan, merawat, menyayangi dan menjagamu. Dan dibalik ketidaknyamananmu, ada sebuah cinta yang selalu menjadi pelindungmu. Coba kau katakan sekali saja, ” AKU SAYANG SAMA AYAH ” , maka kau akan melihat guratan senyum kebahagiaan dari raut bibirnya yang mungkin tidak pernah kau lihat sebelumnya. Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya….. Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya. Lalu bagaimana dengan Papa ? Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu ? Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian ? Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil. Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu… Kemudian Mama bilang : “ Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya ” , Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka. Tapi sadarkah kamu? Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA. Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba. Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : “BOLEH, KITA BELI NANTI, TAPI TIDAK SEKARANG” Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi ? Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “SUDAH DI BILANG! KAMU JANGAN MINUM AIR DINGIN!”. Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu. Ketika kamu sudah beranjak remaja. Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: “ TIDAK BOLEH !”. Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu ? KARENA BAGI PAPA, KAMU ADALAH SESUATU YANG SANGAT – SANGAT LUAR BIASA BERHARGA. Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu. Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama. Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, tapi lagi-lagi dia HARUS MENJAGAMU? Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia. Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu. Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu? SAAT KAMU MULAI LEBIH DIPERCAYA, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir. Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut. Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu. Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang ? “Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa.” SETELAH LULUS SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti. Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa Ketika kamu menjadi gadis dewasa. Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain. Papa harus melepasmu di bandara. Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu ? Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat. Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “JAGA DIRIMU BAIK-BAIK YA SAYANG”. Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT…. kuat untuk pergi dan menjadi dewasa… DISAAT KAMU BUTUH UANG UNTUK MEMBIAYAI UANG SEMESTER DAN KEHIDUPANMU, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa. Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain. Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan. Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : “ TIDAK…. TIDAK BISA ! ” Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan “ IYA SAYANG, NANTI PAPA BELIKAN UNTUKMU ”. Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum? SAATNYA KAMU DIWISUDA SEBAGAI SEORANG SARJANA. Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “ Putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang ” Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Papa untuk mengambilmu darinya. Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin.. Karena Papa tahu. Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti. Dan akhirnya…. Saat Papa melihatmu duduk di panggung pelaminan bersama seseorang lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia. APAKAH KAMU MENGETAHUI, DI HARI YANG BAHAGIA ITU PAPA PERGI KEBELAKANG PANGGUNG SEBENTAR, DAN MENANGIS ? Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa. Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata : “ YA TUHAN TUGASKU TELAH SELESAI DENGAN BAIK…. PUTRI KECILKU YANG LUCU DAN KUCINTAI TELAH MENJADI WANITA YANG CANTIK…. BAHAGIAKANLAH IA BERSAMA SUAMINYA…” Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk. Dengan rambut yang telah dan semakin memutih. Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya. Papa telah menyelesaikan tugasnya. PAPA, AYAH, BAPAK KITA… ADALAH SOSOK YANG HARUS SELALU TERLIHAT KUAT. BAHKAN KETIKA DIA TIDAK KUAT UNTUK TIDAK MENANGIS… DIA HARUS TERLIHAT TEGAS BAHKAN SAAT DIA INGIN MEMANJAKANMU. . DAN DIA ADALAH YANG ORANG PERTAMA YANG SELALU YAKIN BAHWA “ KAMU BISA ” DALAM SEGALA HAL.. SEMOGA SEMUA AYAH DI DUNIA SELALU BERBAHAGIA. SUMBER : http://www.alhamidiyah.com/?v=buku-tamu

Selasa, 21 Agustus 2012

CINTA ABADI YANG TAK TERUCAPKAN

CINTA ABADI YANG TAK TERUCAPKAN Kisah cinta sejati seorang suami kepada sang istri yang cukup mampu membuat saya menitikkan air mata walau sesaat. Cerita ini kiriman inbox dari saudara Raden Mas LeyehLeyeh. Link sumber : http://m.facebook.com/note.php?note_id=465155024167&refid=21 (bagi yang ingin copy paste cerita yang ini, harap menyertakan "backlink" di atas. Terima kasih). SELAMAT MEMBACA! * * * Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang dibalik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini. Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Karena ada sisi kesehariannya yang luar biasa !!!! Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak. Dari isinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi. Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah. Pada suatu hari…saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya– karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing– Pak Suyatno memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu ‘agar semua anaknya dapat berhasil’. Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata: “Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.” Sambil air mata si sulung berlinang. “Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak, dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Si Sulung melanjutkan permohonannya. ”Anak-anakku…Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat*… kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini ?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.” Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu…… Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa….disaat itulah meledak tangisnya dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru. Disitulah Pak Suyatno bercerita : “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu..Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama… dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit…” katanya sambil menangis.

Sabtu, 14 Juli 2012

gelas

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkanya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?”, ujar Pak tua itu. “Asin, asin sekali,” jawab sang tamu, sambil meludah ke samping. Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke alam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang dengan mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.” Saat tamu itu selesai mereguk air, Pak tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”. “Segar”, sahut tamunya. ‘Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?’, tanya Pak tua lagi. ‘Tidak’, jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap sama.” “Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung semua kepahitan itu.” Pak tua itu kembali memberikan nasehat. “Hatimu adalah wadah itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
sumber : http://nowilkirin.blogspot.com/2010/02/gelas.html

Sabtu, 28 Januari 2012

"BETAPA LEMBUT RAHMATMU, YA ALLAH"


Malik bin Dinar berkata:
Saat aku thawaf di Baitul Haram, banyaknya jamah haji dan umrah saat itu sungguh membuatku takjub! Andai saja aku tahu mana antara mereka yang ibadahnya diterima hingga aku ucapkan selamat, dan mana di antara mereka yang ibadahnya ditolak lalu aku beri ucapan bela sungkawa.

Dimalam hari aku bermimpi seakan-akan ada seseorang yang berkata:
"Malik bin dinar berfikir tentang para jama’ah haji dan umroh, maka demi Allah, sungguh Allah telah mengampuni seluruh jama’ah tersebut baik yang kecil maupun yang besar, laki-laki dan perempuan, yang hitam atau putih, yang bangsa Arab dan yang ’ajam, kecuali hanya satu orang. Maka sesungguhnya Allah telah murka kepadanya dan Dia telah menolak hajinya.”

Maka akupun tertidur malam itu, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku khawatir jangan-jangan akulah laki-laki itu.

Dimalam yang kedua aku bermimpi seperti itu pula, hanya saja dimimpi itu aku diberi tahu, bahwa bukan aku orang tersebut, tetapi seorang laki-laki dan penduduk Khurasan dan kota yang disebut Balkh. Orang itu bernama Muhammad bin Harun al-Balkhi. Allah tengah murka atasnya, dan Allah telah menolak hajinya.

Di pagi hari, aku pergi ke kabilah Khurasan, lalu kutanyakan kepada mereka: "Apakah di tengah-tengah kalian terdapat Balkhiyun (orang-orang dari Balkh)?"

Mereka menjawab: “Ya ada”.

Maka akupun menghampirinya seraya mengucapkan salam dan berkata: "Apakah ada di antara kalian seorang laki-laki yang disebut Muhammad bin Harun?"

Mereka menjawab:
"Wahai Malik, engkau bertanya tentang seorang laki-laki ahli ibadah yang paling zuhud di Khurasan"

Akupun terheran-heran karena pujian mereka yang indah kepada Muhammad bin Harun, dan juga aneh atas mimpi yang telah kulihat dari tidurku.

Akupun berkata:
"Tunjukkanlah aku kepadanya”.

Merekapun menjawab: "Sesungguhnya sejak empat puluh tahun lalu dia senantiasa puasa di siang hari dan menghidupkan malamnya, ia bahkan bertempat tinggal di reruntuhan-reruntuhan. Sepertinya sekarangpun dia berada di reruntuhan-reruntuhan Makkah.”

Akupun berjalan-jalan di reruntuhan, tiba-tiba aku melihatnya sedang berdiri di belakang sebuah tembok, tangan kanannya terpotong dan digantungkan di lehemya, tulang selangkanya berlobang dan terikat dengan dua buah belenggu berat di kakinya, sementara dia dalam keadaan ruku’ dan sujud.

Ketika dia merasakan suara gesekan kedua kakiku,
dia menoleh seraya berkata: “Siapakah engkau?”

Aku menjawab: “Malik bin Dinar.”

Dia berkata:
“Wahai Malik, apa yang membuatmu datang kepadaku? Apakah Engkau telah melihat sebuah mimpi? Ceritakanlah mimpi itu kepadaku!”

Aku berkata:
“Aku malu menceritakannya kepadamu.”

Dia berkata lagi; ”Jangan malu”.

Akupun menceritakan mimpi itu kepadanya,
lantas diapun menangis panjang dan berkata;

”Wahai Malik, mimpi tersebut telah diperlihatkan kepadaku sejak empat puluh tahun lalu, setiap tahun ada seorang laki-laki zuhud sepertimu yang melihatnya, bahwa aku memang termasuk ahli neraka.

Aku berkata kepadanya,
“Dosa teramat besar apakah yang engkau lakukan kepada Allah?"

Dia menjawab:
“Ya, dosaku jauh lebih besar daripada langit, bumi,dan gunung-gunung.”

Aku berkata:
”Ceritakanlah kepadaku agar aku bisa memperingatkan manusia yang tidak mengetahuinya.”

Dia berkata:
“Wahai Malik, dulu aku seorang laki-laki pecandu minuman keras. Pada suatu hari aku minum minuman keras di rumah salah seorang temanku, hingga ketika aku telah mabuk dan hilang akal, akupun pulang ke rumah. Saat aku masuk rumah, ternyata ibuku tengah menyalakan tungku api yang baranya menyala nyala.

Ketika dia melihatku sempoyongan karena mabuk, dia pun mulai memberikan nasihat kepadaku, seraya berkata;

"Ini adalah hari terakhir dari bulan Syaban, dan malam pertama dari bulan Ramadhan. Besok di pagi hari manusia mulai berpuasa, dan kamu dalam keadaan mabuk?! Tidakkah kamu malu kepada Allah?!”

Maka kuangkat kedua tanganku kemudian aku pun mencampakannya.

Ibuku berkata; “Celaka kamu”.

Akupun marah karena ucapannya.
Masih dalam keadaan mabuk aku gusur dia, lalu kulemparkan ke dalam tungku api dan istriku saat itu melihatnya. Istriku kemudian membawaku dan memasukkanku ke dalam sebuah rumah seraya menutup pintu rapat-rapat.

Baru di akhir malam hilanglah mabukku, kemudian aku panggil istriku untuk membukakan pintu. Dan dia menjawab dengan kasar.

Aku berkata kepada istriku;
”Mengapa sikapmu kasar seperti ini, aku belum pernah mengetahui sikapmu seperti ini sebelumnya?”.

Istriku menjawab;
”Engkau berhak untuk tidak kuhormati”.

Aku berkata: ”Kenapa?”

Dia menjawab: ”Engkau telah membunuh ibumu, engkau telah melemparnya kedalam tungku api, dan sungguh dia telah terbakar.”

Maka saat aku mendengar hal ini,
aku tidak kuasa lagi menahan diri untuk mendobrak pintu dan keluar menuju tungku api. Ternyata ibuku sudah gosong didalamnya seperti roti yang terpanggang.

Maka segera kuletakkan tangan kananku di kusen pintu kemudian kuhentakkan daun pintu dengan tangan kiriku hingga tangan kananku putus, terpotong. Kemudian kulubangi tulang selangkanganku, lalu kumasukkan belenggu-belenggu ini ke dalamnya, dan kuikat kedua kakiku dengan kedua belenggu ini.

Ketika itu harta kekayaanku sebanyak delapan ribu dinar.
Kusedekahkan semuanya sebelum matahari terbenam, lalu aku memerdekakan 26 orang budak wanita, dan 23 orang budak laki-laki, dan aku waqafkan sawah ladangku di jalan Allah.

Dan sejak empat puluh tahun lalu aku berpuasa di siang hari, dan berdiri shalat dimalam hari. Akupun berhaji setiap tahun. Dan setiap tahun, selalu ada orang-orang alim sepertimu melihat mimpi seperti mimpimu, bahwa aku termasuk ahli neraka.”

Akupun mengusapkan kedua tanganku ke wajahku, dan kukatakan; 'Wahai orang yang malang, hampir-hampir saja engkau membakar bumi beserta orang yang ada di atasnya dengan apimu”.

Maka diapun mengangkat tangannya ke langit seraya berkata;
“Wahai dzat yang memberikan jalan keluar bagi kesempitan, wahai Dzat yang menyingkap kegundahan, Wahai Dzat yang menjawab doa-doa orang yang terjepit, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, berlindung dengan ampunan-Mu dari adzab-Mu, janganlah Engkau rnemutus harapanku, dan janganlah Engkau menyia-nyiakan do’aku.”

Akupun pulang ke rumahku, lalu tidur.
Kemudian aku bermimpi melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Wahai Malik, janganlah engkau membuat orang putus asa dari rahmat Allah, janganlah engkau membuat mereka putus asa dait ampunan-Nya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperhatikan urusan Muhammad bin Harun dari tempat yang Maha Tinggi maka Dia telah mengabulkan do’a dan permintaan maaf atas kesalahannya. Maka pergilah di pagi hari dan katakan kepadanya: “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan makhluk-makhluk pertama dan makhluk-makhluk terakhir pada hari kiamat. Allah akan membela hewan-hewan yang dulu tidak punya tanduk atas hewan-hewan yang dulu punya tanduk. Jika dulu hewan yang bertanduk pernah menyakiti hewan yang tidak bertanduk dengan tanduknya, maka sesungguhnya Allah akan membela hewan tak bertanduk terhadap hewan yang bertanduk. Dan Allah akan mengumpulkan antara kamu wahil Muhammad bin Harun dengan ibumu, kemudian Allah akan menghukumi kamu untuk ibumu. Dan Dia akan memerintahkan kepada para malaikat untuk mengikatmu dengan belenggu yang berat menuju neraka. Maka jika engkau merasakan panas apinya selama tiga hari tiga malam dari hari-hari dunia, Allah akan melemparkan rahmat ke dalam hati ibumu, dan memberinya ilham untuk merninta anugerah pengampunan bagimu dari-Nya. Maka Diapun memberikan anugerah pengampunan kepadamu karenanya (ibumu), lalu kalian berdua masuk ke dalam sorga, karena (Dia telah berfirman):
‘Sesungguhnya Aku telah berjanji bahwa tidaklah seorang hamba dari hamba-hamba-Ku yang meminum-minuman yang memabukkan dan membunuh jiwa yang telah Kuharamkan kecuali akan Aku rasakan padanya panas api neraka.’

Di pagi harinya, aku berangkat menemuinya, lalu kukabarkan mimpiku kepadanya. Maka seakan-akan kehidupannya bagaikan tanah kering berkerikil yang disiram air, kemudian dia meninggal.

Aku (Malik bin Dinar) termasuk orang yang menshalatinya.

Catatan:
Kisah ini diambil dari kitab Birrul Walidain (lbnul Jauzi 1/7)

Ditulis Oleh: Mamduh Farhan Al-Buhairi di Qiblati Edisi 9/III (www.qiblati.com)

Ditulis ulang oleh bloger akhanggas.
Teks terjemahan Asli: http://enkripsi.wordpress.com/2010/10/26/betapa-lembut-rahmatmu-ya-allah/

Dan terakhir di sajikan ulang dengan penulisan yang berbeda sumberoleh NAI. Semoga bisa mengambil hikmahnya, saudara sadaraku. .

http://www.facebook.com/groups/pena.nai/permalink/336094973089821/

Sabtu, 23 Juli 2011

Surah Al Maa'un Ayat satu, Kita-kah ? ( hanya sebuah renungan kecil )



Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat orang enggan untuk keluar rumah. Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang. Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah. Ibunya masih tertidur disampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri. " Allahu Akbar..Allahu Akbar" kumandang adzan maghrib terdengar saling bersautan dari corong-corong spiker masjid, suarayang mengajak orang menemui Sang khaliq penciptanya.

" Bu..bu..itu udah adzan mau sholat gak?" teriak anaknya membangunkan sang ibu, tapi ibunya masih terus tertidur. Anak itu diam , lalu kemudian meneruskan bermain mobil-mobilan. Setelah hampir setengah jam asyik bermain , anak tersebut kembali membangunkan ibunya " Bu....bu..., ...ibu gak sholat...... bangun dong bu....angga lapar nih !!" teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun. Karena keletihan membangunkan ibunya tetapi tidak ada hasil anak itu kemudian tertidur disamping ibunya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang sakit keras. Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi, Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar. Dia bangun lalu berlari kearah masjid di seberang jalan, kemudian menengadahkan tangan kepada jama'ah masjid yang hendak melaksanakan sholat. Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama'ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibu nya muntah-muntah lalu kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.


" Aro'aitalladzi yukajjibu biddin, fadza likalladzi ya du'uul yatim wa la yaa khuddu 'alaa thoo 'amil miskin"terdengar suara imam membaca surat Al Maa'un dari dalam masjid tentang para pendusta agama. Semua jama'ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa'un tersebut terlantar di sudut ingatan. " Iqra !" kata malaikat jibril kepada Muhammad SAW, tidak ada kitab disana , Rasulullah SAW pun tidak bisa membaca, lalu apa yang mesti di baca ? " Iqra bismirabbikalladzi khalaq" bacalah dengan menyebut nama Tuhan Sang Maha Pencipta, surah itu seperti berteriak kepada kita "bacalah sekelilingmu, bacalah keadaan lingkunganmu, baca dan berkacalah pada alam semesta dan tunjukan kepedulianmu" dan kita hanya tertunduk sambil terus membolak-balik kitab suci.

Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan, air yang bagi mahluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Tuhan terakhir kepadanya, dia tertidur sambil memegang perut didada ibunya. Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya di ketemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.

Ketika malam nanti hujan menghampiri kita, disaat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan disudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita

Ini hanya sebuah renunga buat diri kita. Semoga Kita bisa memperbaiki diri kita untuk menjadi seorang yang lebih baik .
memberi dan menerima semua akan diminta pertanggung jawabannya...
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=195205471716

Jumat, 22 Juli 2011

ustadz telandan


Alkisah...ada seorang Mubaligh Muda yg bernama Ahmad.. Ia memberikan ceramah kepada jama’ahnya seperti biasa. jama’ahnya banyak yang menangis berurai air mata mendengarkan nasehat-nasehatnya yang menyentuh.
Pulang ceramah,.. seperti umumnya mubaligh, ia diberi amplop dengan jumlah cukup besar, Rp. 1,5 juta.
Saat melihat amplop itu disodorkan,.. Ahmad merenung... Seperti biasa, ia tak mau dibayar.... Hatinya mengatakan salah mendapat uang dari kegiatan dakwah...pengajian dan dari memberikan nasehat pada orang lain.
Berdakwah mengingatkan orang pada kebaikan adalah kewajiban setiap Muslim. Mengapa harus dibayar..?
Yang ia paling takuti adalah Syetan tanpa terasa akan membelokkan niatnya berdakwah menjadi mencari uang.
Syetan akan merusak keikhlasannya melalui uang. Itu pasti, dan jarang orang lulus dengan ujian itu.dan Ahmad tidak mau itu terjadi pada dirinya.
Ia sangat menjaga niatnya... Ia tidak menganggap sepele urusan niat.
Karena niatnya salah sedikit saja, melenceng dari keikhlasan, ia akan masuk ke dalam jebakan Syetan yang susah dilawan.

Ahmad merasakan hatinya berbicara pada dirinya:
“ Ahmad,.. coba lihat dirimu,.. kamu masih muda,.. sehat,.. punya kaki yang bisa dipakai untuk berjalan.. Walaupun tidak punya pekerjaan tapi selama ini kamu belum pernah kelaparan..Walaupun uangmu di saku sekarang hanya Rp. 15 ribu, bukankah Allah selama ini mencukupi rizkimu...? Bukankah banyak orang yang lebih membutuhkan uang itu dibandingkan kamu..?
Kalau pun butuh.., apa tidak malu menerima uang dari masjid..?
Dari nasehat-nasehat agama yang kau berikan...? Bila kau menceramahkan agama,.. memberikan nasehat tentang keharusan ikhlas dan ketakwaan, apakah kamu sendiri sudah melaksanakannya....?
Bukankah engkau harus melakukan dan mencontohkannya apa-apa yang engkau ceramahkan...?”

Renungan seperti itu selalu ia lakukan bila ceramahnya ada yang membayarnya.
Setelah merenung begitu,... ia selalu tak sanggup menerima amplop berapa pun besarnya walaupun saat itu hanya ada beberapa rupiah uang disakunya.
Ia selalu merasa malu kepada dirinya dan kepada Allah.
Ia menyadari betul..memberikan nasihat dan pengajian bukan untuk mencari uang... Rezekinya yakin sudah ditanggung oleh Allah ia tapi tidak mau mendapatkannya dari berdakwah.
Ia merasa dirinya naif bila menerimanya... Ia juga merasa bila menerimanya berarti ia memakan uang masjid,.. ditambah ada orang-orang yang memaksakan iuran mengumpulkan uang honor tersebut. Ia paling tidak mau itu.

Kalau pun masjid itu uangnya banyak karena berada di tempat elit, ia merasa tetap saja hatinya yang akan mudah berbelok tanpa terasa, menjadi senang menerima uang.
Itu bisa melenakan hatinya... Ia bisa tidak mau berdakwah karena tidak dibayar. Dan itu naif. Ia merasakan malu menghubungkan uang dengan keharusannya saling menasehati.
Bagaimana bila sebuah masyarakat butuh nasehat dan siraman ruhaninya, tapi tidak jadi gara-gara tidak ada uang untuk membaya honor penceramahnya..?

Haruskan saling menasehati terhalang oleh ketiadaan honor buat si penasehat.? Mengapa saling menasehati dan mengingatkan kebenaran jadi urusan uang..? Yang membuatnya kesel lagi, kebetulan, kondisi masjid itu tidak terlalu bagus bahkan ada beberapa bagian yang rusak.
Tapi mengapa untuk dirinya uang itu dipaksakan ada tapi untuk memperbaiki masjidnya sendiri tidak diusahakan?

Ahmad memanggil staf DKM dan jama’ahnya yang belum pulang.
Ia memberikan renungan dan menyadarkan jama’ah tentang kondisi masjid. Yang berhak diberi uang itu bukan dirinya,.. tapi masjid itu yang harus diperbaiki... Mengapa mereka memaksakan membayar dirinya, sementara bagian masjid ada yang rusak tidak diperbaiki..?
Amplop itu pun ia minta untuk memperbaiki masjid. Jama’ah merasa malu mendengarnya ada mubaligh hatinya semulia itu.
Sudah pengajiannya menyentuh,.. tidak mau dibayar lagi.
Dan pada jam itu ternyata terkumpul Rp. 2,5 juta untuk dana awal memperbaiki masjid.

Saat pulang,.. jama’ah mengantarkannya pergi ke pintu halaman masjid. Mereka tahu,....... Ahmad datang jauh-jauh dan tentu mereka ingin
mengantarkannya Tapi Ahmad selalu menolaknya diantar atau dijemput.
Padahal,ia tidak punya kendaraan.... Ia hanya menyadari dirinya sehat,.. tidak ingin merepotkan orang dengan memanjakan dirinya.
Yang ia rasakan nikmat bukan amplop atau diantar mobil tapi do’a jama’ah pada mengalir untuk dirinya melepas kepergiannya.

Do’a agar selamat, agar dilindungi Allah, do’a untuk keluarganya, disamping ucapan terima kasih tak terhingga.
Ahmad merasakan, do’a-do’a tulus ikhlas dari orang-orang kecil itu jauh lebih berharga, jauh terasa lebih nikmat meresap ke dalam hati dan lebih besar nilainya dari uang puluhan juta.
Do’a-do’a tulus itu akan menjadi bekal hidupnya di masa depan. Ia kemudian pamit dan berjalan kaki dengan uang disakunya hanya Rp. 15.000.

Ahmad sangat yakin dengan menjaga hatinya seperti itu,.. Allah justru akan memberikan pertolongannya yang jauh lebih besar dari arah yang tak disangka-sangka. Dan itu sering ia alami.
Itulah keyakinannya sehingga ia tidak menggantungkan bantuannya pada manusia.... Bantuan Allah sudah menjadi keyakinannya, menjadi jiwanya.

Saat ia mulai berjalan menjauhi masjid, ia berharap pertolongan Allah datang lagi dalam bentuk apa saja yang bisa mengantarkannya pulang .
Ia berjalan dan terus berjalan... Biasanya pertolongan Allah itu tidak lama sudah datan seperti yang ia sering alami, ketika sedang berjalan kaki pulang dari luar kota sesudah memberikan taushiyah pengajian, tiba-tiba sudah berada di dekat rumahnya. Allahu Akbar …!!
Matanya terbelalak tidak percaya, tapi sering terjadi.
Ia hanya berjalan mengandalkan kakinya yang diamanatkan Allah untuk digunakan. Itu saja yang ia yakini.

Siang itu,... Ahmad terus berjalan sambil hati kecilnya berharap bantuan Allah lagi. Tapi......., setelah sekian jam berjalan, bantuan itu tidak datang juga.
Ia heran dan bertanya-tanya dlm hati.. Tapi kemudian segera meluruskan hatinya... Ia berbicara pada dirinya:
“Ahmad... kamu sehat dan punya kaki, kenapa tidak dipakai..?
Kenapa harus bergantung pada pertolongan yang pernah dirasakan..?”
Ia pun beristighfar menyadari itu dan meniatkan pulang berjalan kaki.
Ia pun menghilangkan harapan yang bisa merusak keikhlasannya.

Tanpa terasa,... dari dhuhur hingga sudah larut malam ia telah berjalan....
Di tengah jalan, ia masuk masjid dan ia yakin ada sesuatu yang salah pada dirinya karena tidak biasanya seperti itu.
Saat shalat, ia menangis sejadi-jadinya....
Ia malu kepada Allah dan merengek-rengek memohon ampun.
Ia merasa keikhlasannya di pengajian tadi tengah diuji.

Ia merasa hatinya berkata pada dirinya:
“Ahmad, engkau sudah berbuat mulia,.. menolak bayaran dan kau pakai untuk masjid... Dan engkau berniat pulang dgn jalan kaki , tapi mengapa engkau berharap balasan...? Dimana keikhlasanmu..? Allah sering memberikan pertolongan kepadamu dan pertolongan Allah kepada kekasih-kekasih-Nya adalah pasti. Tapi mengapa engkau menjadikan itu sebagai andalan...?
Bisakah kedekatanmu pada kepada Allah tidak kau jadikan andalan mendapatkan kemudahan..? Mana perjuanganmu..?
Mana bukti keikhlasanmu..? Tunjukkan dulu usahamu yang maksimal mempergunakan apa-apa yang sudah dianugrahkan Allah kepadamu.
Allah sudah memberimu badan,.. kaki dan kesehatan,.. mengapa tidak kau gunakan..?
Walaupun berharap balasan dari Alah adalah sebuah keikhlasan,.. tapi tetap itu masih berharap balasan.
Itu belum keikhlasan yang sesungguhnya...
Keikhlasan yang sejati adalah tidak berharap balasan dari siapa-siapa,bahkan dari Dia sekalipun... Seseorang berbuat kebaikan adalah untuk kebaikan dirinya, seseorang berbuat mulia untuk kemuliaan dirinya,.. Allah membalasnya atau tidak itu urusan-Nya... Yang jelas, Allah pasti tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan seorang hamba-Nya.
Allah ingin melihat bukti keikhlasanmu tanpa Allah memberikan bantuan kepadamu. Apa engkau tidak ikhlas dengan kebaikanmu...?”

Mendengar suara hatinya tsb, ia tak tahan dengan perasaan malunya.
Ia sujud menangis. Air matanya membasahi sajadahnya:
“Ya Allah, ampunilah aku... Bukan berharap Engkau memudahkan urusanku, tapi pertolongan-Mu selama ini selalu terbukti nyata padaku....
Aku jadi kebiasaan.... Sekarang aku malu kepada-Mu ya Allah…
Aku menyadari,.. seharusnya aku tidak berharap begitu,.. itu urusan Engkau menolong aku atau tidak.
Sekarang aku ikhlaaaas… dengan perjalanan pulangku ini, maafkan aku ya Allah, aku mohon ampuun padamu ya Allah…!”
sambil terus terisak-isak. Ia bermalam di masjid itu karena kelelahan.

Pagi harinya, ia merasa jiwanya segar dan pulih kembali.
Kesalahan hatinya telah disadarinya dan ia merasa Allah sudah mengampuni kesalahannya.
Dari masjid itu ia berjalan kaki lagi singgah dari masjid ke masjid untuk shalat dan istrahat.
Sesekali diisi berjam-jam ngobrol memberikan taushiyah.
Ia baru tiba di rumahnya setelah tiga hari berjalan kaki.... Ia merasakan perjalanannya nikmat luar biasa.
Uangnya disaku tinggal sepuluh ribu rupiah,.. lima ribu ia pakai makan supermie dua kali dalam perjalanan pulang yang “berkesan” itu.

Ketika saya tanya mengapa pertolongan Allah tidak datang saat itu..?
Ia menjawab: “Karena saya mengharapkannya. Itulah kesalahan saya. Saya belum ikhlas. Itulah yang saya tangisi dan memohon ampun. Ketika saya tidak bergantung pada anugrah kemudahan Allah yang sering diberikan kepada saya, jutsru sering keajaiban Allah itu datang dengan mudahnya,” ujarnya.

“Kelemahan kita umumnya, jangankan kemudahan dari Allah, bantuan dan pertolongan dari manusia saja sering membuat kita bergantung kepada mereka dan lupa kepada hakikat yang memberikannya. Belum lagi bantuan itu kita pergunakan untuk tujuan-tujuan yang salah dan tidak pada tempatnya.
Itulah yang harus kita hindari bila hati kita ingin hidup dan bercahaya.”

Subhanallah… saya sangat malu pada diri sendiri mendengar kisahnya...!!

catt : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=208725119175864&set=o.158496477521946&type=1&theater

Minggu, 06 Februari 2011

Biarlah, Hanya Allah Yang Mengenalku


Ada sebuah pesan menarik dari seorang ulama salaf, tu'rafuna fi ahlis-sama' wa tukhfuna fi ahlil ardhi. Berusahalah agar kalian lebih dikenal oleh para penghuni langit, walau tak seorang penduduk bumi yg mengenal kalian. Rasulullah saw menyebut tipe manusia seperti ini dgn sebutan Al Akhfiya; manusia2 tersembunyi. Beliau juga mengatakan Allah Azza wa Jalla sangat mencintai manusia tipe ini. Mereka tdk pernah peduli apa kata manusia tentang mereka, sebab bagi mereka yg penting adalah apa kata Allah tentang mereka. Itulah sebabnya, mereka tdk pernah mengalami kegilaan akan kemasyuhran.



Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia hidup di masa tabi'in. Namun hingga hari ini tak satu buku sejarahpun yg dapt menyingkap identitas pria ini. Satu2nya informasi tentangnya hanyalah bahwa ia seorang berkulit hitam dan bekerja sbg tukang sepatu! Shahibul hikayat adalah seoarng tabi'in bernama Muhammad ibn al-Munkadir rahimahullah. malam itu sudah terlalu malam dan gelap. Namun walaupun malam, udara terasa lebih panas dari biasanya. Tidak aneh memang, sebab hari2 itu adalah hari2 kemarau panjang dikota itu. Sudah satu tahun ini kota Madinah tdk pernah mendapat curahan air dari langit. Entah telah beberapa kali penduduk kota itu berkumpul utk melakukan sholat istisqa' demi meminta hujan. Namun hingga malam itu, tak setetes hujanpun yg turun menemui mereka.



Dan malam itu, seperti biasanya bila sepertiga akhir malam menjelang, Muhammad ibn al-Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas menuju Masjid Rasulullah saw. Usai mengerjakan sholatnya malam itu, ibn al-Munkadir bersandar kesalah satu tiang masjid. Tiba2 ia melihat sebuah sosok bergerak tdk jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba utk mengetahui siapa sosok itu. Agak sulit sebab malam sudah begitu gelap. Dgn agak susah payah ia melihat seorang pria berkulit hitam agak kecoklatan. Tapi ia sama sekali tdk mengenalnya. Pria itu membentangkan sebuah kain dilantai masjid itu dan pria itu sepertinya benar2 merasa hanya ia sendiri dalam masjid. Ia tdk menyadari kehadiran Ibn al-Munkadir tdk jauh dari tempatnya berdiri.



Ia berdiri mengerjakan sholat dua raka'at. Usai itu, ia duduk bersimpuh. begitu khusyu' ia bermunajat. Dalam munajat itu, ia mengatakan, "duhai Tuhanku, penduduk negeri Haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tdk kunjung mengaruniakannya pada mereka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon pada-Mu curahkanlah hujan itu utk mereka"



Ibn al-Munkadir yg mendengar munajat itu agak sedikit mencibir. "Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu,"gumamnya dalam hati."orang2 shaleh seantero Madinah telah keluar utk meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan...lalu tiba-tiba, orang ini berdoa pula....gumamnya.



Namun sungguh diluar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba2 saja suara guntur bergemuruh dari langit. Tetesan2 air hujan menetes kebumi. Sudah lama tdk begitu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu. Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kpd Allah Ta'ala. Namun tdk lama kemudian ia berkata dgn penuh ketawadhu'an, "Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?"



Ibn al-Munkadir hanya tertegun ditempatnya memandang pria itu. Tak lama sesudah itu, pria tsb bangkit kembali dan melanjutkan raka'at-raka'atnya. Hingga ketika saat subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lainnya berdatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Ketika sholat subuh ditegakkan, ia masuk kedalam shaf seolah2 ia baru saja sampai dimasjid itu. Usai mengerjakan sholat subuh, pria itu bergegas keluar meninggalkan masjid Rasulullah saw. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air. Pria itu berjalan cepat sambil mengankat kain bajunya. Menghilang.

Ibn al-Munkadir yg berusaha mengikutinya kehilangan jejak. Ia benar2 tdk tahu kemana pria hitam itu pergi.



Malam kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi Masjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemaren, Ia mengerjakan sholat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika sholat ditegakkan, ia masuk kedalam shaf seperti orang yg baru saja tiba dimasjid itu. Ketika sang Imam mengucapkan salam, pria itu tdk menungu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan masjid itu. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Pria itu menuju kesebuah lorong dan setibanya disebuah rumah ia masuk kedalamnya."Hmm, rupanya disitu pria ini tinggal, baiklah sebentar aku akan mengunjunginya".



Matahari telah naik sepenggalan. Usai menyelesaikan sholat Dhuhanya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu. Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. "Marhaban wahai Abu 'Abdullah-begitulah Ibn al-Munkadir dipanggil-! Adakah yg bisa kubantu? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki?" Ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.



Namun Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yg lain "Bukankah engkau yg bersamaku di masjid kemarin malam itu?" Dan tanpa diduga, wajah pria itu tampak sangat marah. Dgn nada suara yg tinggi ia berkata, "Apa urusanmu dgn itu semua, wahai Ibn al-Munkadir??!"

"Tampaknya ia sangat marah. Aku harus segera pergi dari sini,"ujar Ibn al-Munkadir dalam hati. ia pun segera pamit meninggalkan rumah tukang sepatu itu.



Inilah malam ketiga sejak peristiwa itu. Seprti malam2 sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju masjid Rasulullah saw. satu hal yg agak berbeda malam itu. Dihatinya ada harapan yg kuat utk melihat pria tukang sepatu itu. setibanya dimasjid dan mengerjakan sholat seprti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat didepan matanya.



Namun malam semakin malam, pria yg ditunggu2 tdk kunjung kelihatan. Ibn al-Munkadir tersadar. Ia telah melakukan kesalahan. "Inna lillah ! Apakah yg telah aku lakukan??" itulah gumamnya saat menyadari kesalahan itu.



Dan usai sholat subuh, ia segera meninggalkan masjid itu dan mendatangi rumah sang tukang sepatu. Namun, yg ditemukan hanyalah pintu rumah yg terbuka dan tdk ada lagi pria itu. Penghuni rumah itu berkata, "wahai Abu 'Abdullah! apa yg terjadi antara engkau dgn dia?"

"Apa yg terjadi?" Tanya Ibn al-Munkadir

"Ketika engkau keluar dari sini kemarin itu, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tak satupun yg tersisa. Lalu ia pergi dan kami tdk tahu kemana ia pergi hingga kini," jelas penghuni rumah itu.



Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yg ia ketahui dikota Madinah. Namun sia-sia belaka. Pencariannya tdk pernah membuahkan hasil. Dan hingga kini di abad ini. Kita pun tdk pernah tahu siapa pria tukang sepatu itu. Jejak-jejaknya yg terhapus oleh hembusan angin sejarah seolah bergumam, "Biarlah, hanya Allah yg mengenalku....."



Sumber: Kerinduan Seorang Mujahid, Abul Miqdad al-Madany (hal-103-108)
http://www.facebook.com/home.php#!/notes/nina-bobo/biarlah-hanya-allah-yang-mengenalku/159278450786411