Sabtu, 23 Juli 2011

Surah Al Maa'un Ayat satu, Kita-kah ? ( hanya sebuah renungan kecil )



Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat orang enggan untuk keluar rumah. Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang. Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah. Ibunya masih tertidur disampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri. " Allahu Akbar..Allahu Akbar" kumandang adzan maghrib terdengar saling bersautan dari corong-corong spiker masjid, suarayang mengajak orang menemui Sang khaliq penciptanya.

" Bu..bu..itu udah adzan mau sholat gak?" teriak anaknya membangunkan sang ibu, tapi ibunya masih terus tertidur. Anak itu diam , lalu kemudian meneruskan bermain mobil-mobilan. Setelah hampir setengah jam asyik bermain , anak tersebut kembali membangunkan ibunya " Bu....bu..., ...ibu gak sholat...... bangun dong bu....angga lapar nih !!" teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun. Karena keletihan membangunkan ibunya tetapi tidak ada hasil anak itu kemudian tertidur disamping ibunya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang sakit keras. Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi, Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar. Dia bangun lalu berlari kearah masjid di seberang jalan, kemudian menengadahkan tangan kepada jama'ah masjid yang hendak melaksanakan sholat. Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama'ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibu nya muntah-muntah lalu kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.


" Aro'aitalladzi yukajjibu biddin, fadza likalladzi ya du'uul yatim wa la yaa khuddu 'alaa thoo 'amil miskin"terdengar suara imam membaca surat Al Maa'un dari dalam masjid tentang para pendusta agama. Semua jama'ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa'un tersebut terlantar di sudut ingatan. " Iqra !" kata malaikat jibril kepada Muhammad SAW, tidak ada kitab disana , Rasulullah SAW pun tidak bisa membaca, lalu apa yang mesti di baca ? " Iqra bismirabbikalladzi khalaq" bacalah dengan menyebut nama Tuhan Sang Maha Pencipta, surah itu seperti berteriak kepada kita "bacalah sekelilingmu, bacalah keadaan lingkunganmu, baca dan berkacalah pada alam semesta dan tunjukan kepedulianmu" dan kita hanya tertunduk sambil terus membolak-balik kitab suci.

Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan, air yang bagi mahluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Tuhan terakhir kepadanya, dia tertidur sambil memegang perut didada ibunya. Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya di ketemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.

Ketika malam nanti hujan menghampiri kita, disaat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan disudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita

Ini hanya sebuah renunga buat diri kita. Semoga Kita bisa memperbaiki diri kita untuk menjadi seorang yang lebih baik .
memberi dan menerima semua akan diminta pertanggung jawabannya...
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=195205471716

Jumat, 22 Juli 2011

ustadz telandan


Alkisah...ada seorang Mubaligh Muda yg bernama Ahmad.. Ia memberikan ceramah kepada jama’ahnya seperti biasa. jama’ahnya banyak yang menangis berurai air mata mendengarkan nasehat-nasehatnya yang menyentuh.
Pulang ceramah,.. seperti umumnya mubaligh, ia diberi amplop dengan jumlah cukup besar, Rp. 1,5 juta.
Saat melihat amplop itu disodorkan,.. Ahmad merenung... Seperti biasa, ia tak mau dibayar.... Hatinya mengatakan salah mendapat uang dari kegiatan dakwah...pengajian dan dari memberikan nasehat pada orang lain.
Berdakwah mengingatkan orang pada kebaikan adalah kewajiban setiap Muslim. Mengapa harus dibayar..?
Yang ia paling takuti adalah Syetan tanpa terasa akan membelokkan niatnya berdakwah menjadi mencari uang.
Syetan akan merusak keikhlasannya melalui uang. Itu pasti, dan jarang orang lulus dengan ujian itu.dan Ahmad tidak mau itu terjadi pada dirinya.
Ia sangat menjaga niatnya... Ia tidak menganggap sepele urusan niat.
Karena niatnya salah sedikit saja, melenceng dari keikhlasan, ia akan masuk ke dalam jebakan Syetan yang susah dilawan.

Ahmad merasakan hatinya berbicara pada dirinya:
“ Ahmad,.. coba lihat dirimu,.. kamu masih muda,.. sehat,.. punya kaki yang bisa dipakai untuk berjalan.. Walaupun tidak punya pekerjaan tapi selama ini kamu belum pernah kelaparan..Walaupun uangmu di saku sekarang hanya Rp. 15 ribu, bukankah Allah selama ini mencukupi rizkimu...? Bukankah banyak orang yang lebih membutuhkan uang itu dibandingkan kamu..?
Kalau pun butuh.., apa tidak malu menerima uang dari masjid..?
Dari nasehat-nasehat agama yang kau berikan...? Bila kau menceramahkan agama,.. memberikan nasehat tentang keharusan ikhlas dan ketakwaan, apakah kamu sendiri sudah melaksanakannya....?
Bukankah engkau harus melakukan dan mencontohkannya apa-apa yang engkau ceramahkan...?”

Renungan seperti itu selalu ia lakukan bila ceramahnya ada yang membayarnya.
Setelah merenung begitu,... ia selalu tak sanggup menerima amplop berapa pun besarnya walaupun saat itu hanya ada beberapa rupiah uang disakunya.
Ia selalu merasa malu kepada dirinya dan kepada Allah.
Ia menyadari betul..memberikan nasihat dan pengajian bukan untuk mencari uang... Rezekinya yakin sudah ditanggung oleh Allah ia tapi tidak mau mendapatkannya dari berdakwah.
Ia merasa dirinya naif bila menerimanya... Ia juga merasa bila menerimanya berarti ia memakan uang masjid,.. ditambah ada orang-orang yang memaksakan iuran mengumpulkan uang honor tersebut. Ia paling tidak mau itu.

Kalau pun masjid itu uangnya banyak karena berada di tempat elit, ia merasa tetap saja hatinya yang akan mudah berbelok tanpa terasa, menjadi senang menerima uang.
Itu bisa melenakan hatinya... Ia bisa tidak mau berdakwah karena tidak dibayar. Dan itu naif. Ia merasakan malu menghubungkan uang dengan keharusannya saling menasehati.
Bagaimana bila sebuah masyarakat butuh nasehat dan siraman ruhaninya, tapi tidak jadi gara-gara tidak ada uang untuk membaya honor penceramahnya..?

Haruskan saling menasehati terhalang oleh ketiadaan honor buat si penasehat.? Mengapa saling menasehati dan mengingatkan kebenaran jadi urusan uang..? Yang membuatnya kesel lagi, kebetulan, kondisi masjid itu tidak terlalu bagus bahkan ada beberapa bagian yang rusak.
Tapi mengapa untuk dirinya uang itu dipaksakan ada tapi untuk memperbaiki masjidnya sendiri tidak diusahakan?

Ahmad memanggil staf DKM dan jama’ahnya yang belum pulang.
Ia memberikan renungan dan menyadarkan jama’ah tentang kondisi masjid. Yang berhak diberi uang itu bukan dirinya,.. tapi masjid itu yang harus diperbaiki... Mengapa mereka memaksakan membayar dirinya, sementara bagian masjid ada yang rusak tidak diperbaiki..?
Amplop itu pun ia minta untuk memperbaiki masjid. Jama’ah merasa malu mendengarnya ada mubaligh hatinya semulia itu.
Sudah pengajiannya menyentuh,.. tidak mau dibayar lagi.
Dan pada jam itu ternyata terkumpul Rp. 2,5 juta untuk dana awal memperbaiki masjid.

Saat pulang,.. jama’ah mengantarkannya pergi ke pintu halaman masjid. Mereka tahu,....... Ahmad datang jauh-jauh dan tentu mereka ingin
mengantarkannya Tapi Ahmad selalu menolaknya diantar atau dijemput.
Padahal,ia tidak punya kendaraan.... Ia hanya menyadari dirinya sehat,.. tidak ingin merepotkan orang dengan memanjakan dirinya.
Yang ia rasakan nikmat bukan amplop atau diantar mobil tapi do’a jama’ah pada mengalir untuk dirinya melepas kepergiannya.

Do’a agar selamat, agar dilindungi Allah, do’a untuk keluarganya, disamping ucapan terima kasih tak terhingga.
Ahmad merasakan, do’a-do’a tulus ikhlas dari orang-orang kecil itu jauh lebih berharga, jauh terasa lebih nikmat meresap ke dalam hati dan lebih besar nilainya dari uang puluhan juta.
Do’a-do’a tulus itu akan menjadi bekal hidupnya di masa depan. Ia kemudian pamit dan berjalan kaki dengan uang disakunya hanya Rp. 15.000.

Ahmad sangat yakin dengan menjaga hatinya seperti itu,.. Allah justru akan memberikan pertolongannya yang jauh lebih besar dari arah yang tak disangka-sangka. Dan itu sering ia alami.
Itulah keyakinannya sehingga ia tidak menggantungkan bantuannya pada manusia.... Bantuan Allah sudah menjadi keyakinannya, menjadi jiwanya.

Saat ia mulai berjalan menjauhi masjid, ia berharap pertolongan Allah datang lagi dalam bentuk apa saja yang bisa mengantarkannya pulang .
Ia berjalan dan terus berjalan... Biasanya pertolongan Allah itu tidak lama sudah datan seperti yang ia sering alami, ketika sedang berjalan kaki pulang dari luar kota sesudah memberikan taushiyah pengajian, tiba-tiba sudah berada di dekat rumahnya. Allahu Akbar …!!
Matanya terbelalak tidak percaya, tapi sering terjadi.
Ia hanya berjalan mengandalkan kakinya yang diamanatkan Allah untuk digunakan. Itu saja yang ia yakini.

Siang itu,... Ahmad terus berjalan sambil hati kecilnya berharap bantuan Allah lagi. Tapi......., setelah sekian jam berjalan, bantuan itu tidak datang juga.
Ia heran dan bertanya-tanya dlm hati.. Tapi kemudian segera meluruskan hatinya... Ia berbicara pada dirinya:
“Ahmad... kamu sehat dan punya kaki, kenapa tidak dipakai..?
Kenapa harus bergantung pada pertolongan yang pernah dirasakan..?”
Ia pun beristighfar menyadari itu dan meniatkan pulang berjalan kaki.
Ia pun menghilangkan harapan yang bisa merusak keikhlasannya.

Tanpa terasa,... dari dhuhur hingga sudah larut malam ia telah berjalan....
Di tengah jalan, ia masuk masjid dan ia yakin ada sesuatu yang salah pada dirinya karena tidak biasanya seperti itu.
Saat shalat, ia menangis sejadi-jadinya....
Ia malu kepada Allah dan merengek-rengek memohon ampun.
Ia merasa keikhlasannya di pengajian tadi tengah diuji.

Ia merasa hatinya berkata pada dirinya:
“Ahmad, engkau sudah berbuat mulia,.. menolak bayaran dan kau pakai untuk masjid... Dan engkau berniat pulang dgn jalan kaki , tapi mengapa engkau berharap balasan...? Dimana keikhlasanmu..? Allah sering memberikan pertolongan kepadamu dan pertolongan Allah kepada kekasih-kekasih-Nya adalah pasti. Tapi mengapa engkau menjadikan itu sebagai andalan...?
Bisakah kedekatanmu pada kepada Allah tidak kau jadikan andalan mendapatkan kemudahan..? Mana perjuanganmu..?
Mana bukti keikhlasanmu..? Tunjukkan dulu usahamu yang maksimal mempergunakan apa-apa yang sudah dianugrahkan Allah kepadamu.
Allah sudah memberimu badan,.. kaki dan kesehatan,.. mengapa tidak kau gunakan..?
Walaupun berharap balasan dari Alah adalah sebuah keikhlasan,.. tapi tetap itu masih berharap balasan.
Itu belum keikhlasan yang sesungguhnya...
Keikhlasan yang sejati adalah tidak berharap balasan dari siapa-siapa,bahkan dari Dia sekalipun... Seseorang berbuat kebaikan adalah untuk kebaikan dirinya, seseorang berbuat mulia untuk kemuliaan dirinya,.. Allah membalasnya atau tidak itu urusan-Nya... Yang jelas, Allah pasti tidak pernah menyia-nyiakan kebaikan seorang hamba-Nya.
Allah ingin melihat bukti keikhlasanmu tanpa Allah memberikan bantuan kepadamu. Apa engkau tidak ikhlas dengan kebaikanmu...?”

Mendengar suara hatinya tsb, ia tak tahan dengan perasaan malunya.
Ia sujud menangis. Air matanya membasahi sajadahnya:
“Ya Allah, ampunilah aku... Bukan berharap Engkau memudahkan urusanku, tapi pertolongan-Mu selama ini selalu terbukti nyata padaku....
Aku jadi kebiasaan.... Sekarang aku malu kepada-Mu ya Allah…
Aku menyadari,.. seharusnya aku tidak berharap begitu,.. itu urusan Engkau menolong aku atau tidak.
Sekarang aku ikhlaaaas… dengan perjalanan pulangku ini, maafkan aku ya Allah, aku mohon ampuun padamu ya Allah…!”
sambil terus terisak-isak. Ia bermalam di masjid itu karena kelelahan.

Pagi harinya, ia merasa jiwanya segar dan pulih kembali.
Kesalahan hatinya telah disadarinya dan ia merasa Allah sudah mengampuni kesalahannya.
Dari masjid itu ia berjalan kaki lagi singgah dari masjid ke masjid untuk shalat dan istrahat.
Sesekali diisi berjam-jam ngobrol memberikan taushiyah.
Ia baru tiba di rumahnya setelah tiga hari berjalan kaki.... Ia merasakan perjalanannya nikmat luar biasa.
Uangnya disaku tinggal sepuluh ribu rupiah,.. lima ribu ia pakai makan supermie dua kali dalam perjalanan pulang yang “berkesan” itu.

Ketika saya tanya mengapa pertolongan Allah tidak datang saat itu..?
Ia menjawab: “Karena saya mengharapkannya. Itulah kesalahan saya. Saya belum ikhlas. Itulah yang saya tangisi dan memohon ampun. Ketika saya tidak bergantung pada anugrah kemudahan Allah yang sering diberikan kepada saya, jutsru sering keajaiban Allah itu datang dengan mudahnya,” ujarnya.

“Kelemahan kita umumnya, jangankan kemudahan dari Allah, bantuan dan pertolongan dari manusia saja sering membuat kita bergantung kepada mereka dan lupa kepada hakikat yang memberikannya. Belum lagi bantuan itu kita pergunakan untuk tujuan-tujuan yang salah dan tidak pada tempatnya.
Itulah yang harus kita hindari bila hati kita ingin hidup dan bercahaya.”

Subhanallah… saya sangat malu pada diri sendiri mendengar kisahnya...!!

catt : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=208725119175864&set=o.158496477521946&type=1&theater

Minggu, 06 Februari 2011

Biarlah, Hanya Allah Yang Mengenalku


Ada sebuah pesan menarik dari seorang ulama salaf, tu'rafuna fi ahlis-sama' wa tukhfuna fi ahlil ardhi. Berusahalah agar kalian lebih dikenal oleh para penghuni langit, walau tak seorang penduduk bumi yg mengenal kalian. Rasulullah saw menyebut tipe manusia seperti ini dgn sebutan Al Akhfiya; manusia2 tersembunyi. Beliau juga mengatakan Allah Azza wa Jalla sangat mencintai manusia tipe ini. Mereka tdk pernah peduli apa kata manusia tentang mereka, sebab bagi mereka yg penting adalah apa kata Allah tentang mereka. Itulah sebabnya, mereka tdk pernah mengalami kegilaan akan kemasyuhran.



Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia hidup di masa tabi'in. Namun hingga hari ini tak satu buku sejarahpun yg dapt menyingkap identitas pria ini. Satu2nya informasi tentangnya hanyalah bahwa ia seorang berkulit hitam dan bekerja sbg tukang sepatu! Shahibul hikayat adalah seoarng tabi'in bernama Muhammad ibn al-Munkadir rahimahullah. malam itu sudah terlalu malam dan gelap. Namun walaupun malam, udara terasa lebih panas dari biasanya. Tidak aneh memang, sebab hari2 itu adalah hari2 kemarau panjang dikota itu. Sudah satu tahun ini kota Madinah tdk pernah mendapat curahan air dari langit. Entah telah beberapa kali penduduk kota itu berkumpul utk melakukan sholat istisqa' demi meminta hujan. Namun hingga malam itu, tak setetes hujanpun yg turun menemui mereka.



Dan malam itu, seperti biasanya bila sepertiga akhir malam menjelang, Muhammad ibn al-Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas menuju Masjid Rasulullah saw. Usai mengerjakan sholatnya malam itu, ibn al-Munkadir bersandar kesalah satu tiang masjid. Tiba2 ia melihat sebuah sosok bergerak tdk jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba utk mengetahui siapa sosok itu. Agak sulit sebab malam sudah begitu gelap. Dgn agak susah payah ia melihat seorang pria berkulit hitam agak kecoklatan. Tapi ia sama sekali tdk mengenalnya. Pria itu membentangkan sebuah kain dilantai masjid itu dan pria itu sepertinya benar2 merasa hanya ia sendiri dalam masjid. Ia tdk menyadari kehadiran Ibn al-Munkadir tdk jauh dari tempatnya berdiri.



Ia berdiri mengerjakan sholat dua raka'at. Usai itu, ia duduk bersimpuh. begitu khusyu' ia bermunajat. Dalam munajat itu, ia mengatakan, "duhai Tuhanku, penduduk negeri Haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tdk kunjung mengaruniakannya pada mereka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon pada-Mu curahkanlah hujan itu utk mereka"



Ibn al-Munkadir yg mendengar munajat itu agak sedikit mencibir. "Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu,"gumamnya dalam hati."orang2 shaleh seantero Madinah telah keluar utk meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan...lalu tiba-tiba, orang ini berdoa pula....gumamnya.



Namun sungguh diluar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba2 saja suara guntur bergemuruh dari langit. Tetesan2 air hujan menetes kebumi. Sudah lama tdk begitu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu. Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kpd Allah Ta'ala. Namun tdk lama kemudian ia berkata dgn penuh ketawadhu'an, "Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?"



Ibn al-Munkadir hanya tertegun ditempatnya memandang pria itu. Tak lama sesudah itu, pria tsb bangkit kembali dan melanjutkan raka'at-raka'atnya. Hingga ketika saat subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lainnya berdatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Ketika sholat subuh ditegakkan, ia masuk kedalam shaf seolah2 ia baru saja sampai dimasjid itu. Usai mengerjakan sholat subuh, pria itu bergegas keluar meninggalkan masjid Rasulullah saw. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air. Pria itu berjalan cepat sambil mengankat kain bajunya. Menghilang.

Ibn al-Munkadir yg berusaha mengikutinya kehilangan jejak. Ia benar2 tdk tahu kemana pria hitam itu pergi.



Malam kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi Masjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemaren, Ia mengerjakan sholat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika sholat ditegakkan, ia masuk kedalam shaf seperti orang yg baru saja tiba dimasjid itu. Ketika sang Imam mengucapkan salam, pria itu tdk menungu lama. Persis seperti kemarin, ia bergegas meninggalkan masjid itu. Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu. Pria itu menuju kesebuah lorong dan setibanya disebuah rumah ia masuk kedalamnya."Hmm, rupanya disitu pria ini tinggal, baiklah sebentar aku akan mengunjunginya".



Matahari telah naik sepenggalan. Usai menyelesaikan sholat Dhuhanya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu. Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. "Marhaban wahai Abu 'Abdullah-begitulah Ibn al-Munkadir dipanggil-! Adakah yg bisa kubantu? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki?" Ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.



Namun Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yg lain "Bukankah engkau yg bersamaku di masjid kemarin malam itu?" Dan tanpa diduga, wajah pria itu tampak sangat marah. Dgn nada suara yg tinggi ia berkata, "Apa urusanmu dgn itu semua, wahai Ibn al-Munkadir??!"

"Tampaknya ia sangat marah. Aku harus segera pergi dari sini,"ujar Ibn al-Munkadir dalam hati. ia pun segera pamit meninggalkan rumah tukang sepatu itu.



Inilah malam ketiga sejak peristiwa itu. Seprti malam2 sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju masjid Rasulullah saw. satu hal yg agak berbeda malam itu. Dihatinya ada harapan yg kuat utk melihat pria tukang sepatu itu. setibanya dimasjid dan mengerjakan sholat seprti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat didepan matanya.



Namun malam semakin malam, pria yg ditunggu2 tdk kunjung kelihatan. Ibn al-Munkadir tersadar. Ia telah melakukan kesalahan. "Inna lillah ! Apakah yg telah aku lakukan??" itulah gumamnya saat menyadari kesalahan itu.



Dan usai sholat subuh, ia segera meninggalkan masjid itu dan mendatangi rumah sang tukang sepatu. Namun, yg ditemukan hanyalah pintu rumah yg terbuka dan tdk ada lagi pria itu. Penghuni rumah itu berkata, "wahai Abu 'Abdullah! apa yg terjadi antara engkau dgn dia?"

"Apa yg terjadi?" Tanya Ibn al-Munkadir

"Ketika engkau keluar dari sini kemarin itu, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tak satupun yg tersisa. Lalu ia pergi dan kami tdk tahu kemana ia pergi hingga kini," jelas penghuni rumah itu.



Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yg ia ketahui dikota Madinah. Namun sia-sia belaka. Pencariannya tdk pernah membuahkan hasil. Dan hingga kini di abad ini. Kita pun tdk pernah tahu siapa pria tukang sepatu itu. Jejak-jejaknya yg terhapus oleh hembusan angin sejarah seolah bergumam, "Biarlah, hanya Allah yg mengenalku....."



Sumber: Kerinduan Seorang Mujahid, Abul Miqdad al-Madany (hal-103-108)
http://www.facebook.com/home.php#!/notes/nina-bobo/biarlah-hanya-allah-yang-mengenalku/159278450786411

Rabu, 26 Januari 2011

Kisah Gadis Kecil Yang Shalihah


Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.

Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:

Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.

Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.
Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma’ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.

Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.

Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:

Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: “Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!”

Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: “Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam.” Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.

Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.

Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?

Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: “Sakit ringan di kakiku.” Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: “Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah.” Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.

Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.

Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: “Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah.” Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: “Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku.”

Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!

Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!

Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.

Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: “Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku.”

Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: “Apakah engkau seorang muslimah?” Dia menjawab: “Tidak.”

Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.

Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.

Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?” Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: “Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna.” Temanku tersebut berkata: “Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati.”

Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!

Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.

Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu’ dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!

Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.

Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.

Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: “Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat.” Kukatakan: “(Mimpi) yang baik Insya Allah.” Dia berkata: “Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi.”

Akupun bertanya kepadanya: “Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut.” Dia menjawab: “Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku.” Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.

Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: “Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu.” Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: “Aku ingin mencium pipimu yang kedua.” Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: “Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah.”

Maka dia berkata: “Asyhadu alla ilaaha illallah.”

Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallaah.” Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: “Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.” Dan keluarlah rohnya.

Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil ‘aalamin. (AR)*

sumber: majalah qiblati edisi 4 tahun 3

www.qiblati.com
oleh :
Oleh: Ummu Mariah Iman Zuhair
dari : http://enkripsi.wordpress.com/2010/07/09/kisah-gadis-kecil-yang-shalihah/

KESUDAHAN YANG BERLAWANAN



Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang balk. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, nia selalu dalam Shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada’ diri sendiri: ”Alangkah sabarnya mereka…setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!”
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada Allah.

***

Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari rnlingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.

Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku’sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.

Ketika kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras.
Kami mengalihkan pandangan. Teryata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong Korban.
Kejadian yarng sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis kedua nya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.

Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.
Ucapkanlah ”Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah rntemanku.
Tetapi sungguh mengherankan, DARI MULUTNYA MALAH MELUNCUR LAGU-LAGU. Keadaan itu membuatku merinding.
Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi rnorang-orang yang sekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.

Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… KEDUANYA TETAP TERUS SAJA MELANTUNKAN LAGU.
Tak ada gunanya…
Suara lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal dunia.

Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan SU’UL KHATIMAH (KESUDAHAN YANG BURUK). Ia berkata: ”Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.
Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa nitu.

***

Aku kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.

*** Kejadian Yang Menakjubkan…
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu…sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota.
Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika.

Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemani-ku pada peristiwa yang rnpertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia MENGGUMAMKAN SESUATU. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
IA MELANTUNKAN AYAT-AYAT SUCI AL-QUR’AN …dengan suara amat lemah.
”Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan : ia hampir mati.

Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan’ al quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: ”Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman” aku Meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qurlan yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rnrongga.

Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.

Sampai di rumah sakit…Kepada orang-orang di sana kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.

Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. ”Justru saya memanfaatkan waktu pejalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum.

Aku ikut menyalati jenazah dan mengantamya sampai ke kuburan.
Dalam liang rnlahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
”Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah”.
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat…

Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…

sumber http://jilbab.or.id/archives/96-saudariku-apa-yang-menghalangimu-berhijab-iv/#more-96
sumber : http://enkripsi.wordpress.com/2010/06/08/kesudahan-yang-berlawanan/

Selasa, 25 Januari 2011

Mengapa Mahasiswa Burma itu menangis


Bismillahirohmanirrohim

“assalamu’alaikum”, ucap seorang pria tua sembari memasuki ruangan. Dengan penuh wibawa, menyambar kursi kosong terdepan yang menghadap ke arah para mahasiswa. Salamnya barusan memecah kegaduhan mereka yang sejak tadi menjajah aula belajar. Tak berselang lama, suasana menjadi agak hening.

“fulan bin fulan”, kata doktor berkebangsaan Mesir ini memulai mengabsen mahasiswa.

“hadir”, jawab seorang mahasiswa segera.

Begitu seterusnya, berurutan dari “alif’ hingga “waw”.

Mata pelajaran kali ini adalah ”Hadhir ‘Alam Al-Islamiy”. Dalam bahasa kita bermakna “Realita Umat Islam Terkini”. Materi inti yang dibahas dalam mata pelajaran ini adalah keadaan umat Islam di berbagai belahan dunia, sejarah infiltrasi Islam ke sana, beserta problematika terkini yang di hadapi umat islam di masing-masing tempat. Sebagai kampus dengan komposisi mahasiswa yang heterogen dan multikultural, Universitas Islam Madinah sengaja memasukan materi ini ke dalam kurikulum wajib setiap fakultas.

Tujuannya tidak lain, agar mahasiswa yang heterogen tadi mengenal kondisi kaum muslimin di negara lain, memahami situasi umat Islam terkini, dan mengetahui problem-problem apa yang dihadapi kaum muslimin di tiap negara. Dengan begitu, diharapkan akan tumbuh dalam jiwa setiap mahasiswa rasa empati terhadap sesama kaum muslimin, serta rasa senasib sepenanggungan. Sebagaimana di singgung oleh Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- dalam hadisnya:

« مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى »



Artinya: “orang-orang beriman yang saling mencintai, mengasishi, dan menyayangi, bagaikan satu-kesatuan tubuh, apabila salah satu organnya mengeluh sakit, maka yang lainnya akan ikut bersimpati dengan susah tidur dan demam” (HR. Muslim)



Sebagaimana biasanya, begitu absen usai, doktor Mesir itu selalu mengajak mahasiswa untuk loncat dari jendela aula, terbang menyebrangi padang pasir Saudi nan kerontang, melewati batas laut dan samudra, menjelajah ke negri lain untuk sejenak menilik keadaan kaum muslimin di sana.

“Ooo...” , “Subhanallah...” , “Laa haula wa laa quwwata illa billah...”, dan ungkapan-ungkapan sejenisnya, akan segera menghiasi bibir-bibir anak didiknya begitu mata mereka terbuka akan realita yang ada.

Marah, haru, iba, sedih, hati teriris, dendam kesumat terhadap orang-orang kafir, gelora semangat baru untuk memperjuangkan islam, dan perasaan lain yang semisalnya, seakan menjadi hal terpisahkan kala menyimak pelajaran ini.

Terkadang pula, setelah mendengar sepak terjang tokoh-tokoh zaman dahulu, dalam diri mereka timbul inspirasi-inspirasi baru, atau ide-ide segar di bidang inovasi media dakwah.

Begitulah kira-kira petualangan doktor itu, berlangsung dalam durasi kurang dari 1 x 50 menit setiap minggunya.

Namun, hari ini sang doktor sedikit mengubah haluan belajar, tidak melaju sebagaimana biasanya. Di sela-sela petualangannya bersama para mahasiswa, dia melemparkan sebuah pertanyaan,

“kira-kira, apa yang akan kalian lakukan setelah lulus kuliah?”

Tidak biasanya sang doktor melemparkan pertanyaan semacam itu disela-sela pelajaran. Tapi itu wajar-wajar saja, karena pertanyaan itu memang berhubungan erat dengan mata pelajaran yang dia ajarkan sekarang. “Apa yang akan kalian lakukan setelah lulus?” maknanya adalah “apa yang akan kalian lakukan untuk berkhidmah kepada agama ini?”, berarti juga “apa yang bisa kalian lakukan memajukan umat Islam?” berarti juga “solusi macam apa yang kalian tawarkan untuk mengentaskan umat dari problematika rumit ini?”.

Satu-persatu, para mahasiswa bergiliran menjawab pertanyaan tadi dengan antusias. Tidak ayal, jawaban mereka pun bervariasi. Ada yang ingin menjadi guru, ada yang jadi imam masjid, bahkan mungkin ada yang ingin jadi pengusaha, politisi, presiden, dan lain sebagainya.

Sampai tiba giliran anak itu.

“anta...?!”, ujar sang doktor sambil mengarahkan kata yang berarti “kamu” itu kepada salah seorang mahasiswa berwajah melayu.

Dia bukan orang Malaysia, bukan pula Indonesia, Filipina, Kamboja ataupun Thailand, melainkan orang Burma (Myanmar).

Anehnya, tidak semisal mahasiswa lain, anak ini sepertinya tidak begitu antusias menjawab pertanyaan sang doktor.

Tidak, bukan tidak antusias, bahkan sepertinya dia sama sekali tidak ingin mendengar semuanya. Iya, semuanya. Baik semua yang di tanyakan sang doktor, ataupun semua jawaban rekan-rekannya.

Bukan itu saja, di lubuk hatinya seolah berdengung kalimat, “andai sebelumnya aku tahu kalau dosen Mesir ini akan bertanya seperti ini padaku, tentu aku tidak akan masuk kelas”.

Dia bingung... linglung... tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan sederhana ini. Bukan karena skill bahasa arabnya yang minim, tapi memang dia tidak tahu harus menjawab dengan apa.

Tak berselang lama, kedua bola mata anak Burma itu mulai memerah, berkaca-kaca, dan akhirnya ... ...

Tetes demi tetes, air mata mengalir tak terbendung. Isak tangis mulai terdengar, dan suaranya juga semakin parau. Sebuah pertanda bahwa hatinya baru saja terkoyak.

Reaksi yang tak lazim ini membuat seisi aula terheran-heran. Ada apa gerangan dengan anak asia ini?

Semakin lama, tangisnya semakin meledak-ledak. Sepertinya ini bukan sandiwara. Bukan juga air mata buaya.

Beberapa saat kemudian, mendadak hiruk suara isak tangis mulai menjajah aula. Suaranya begitu riuh, mungkin seperti riuhnya mereka ketika menunggu dosen tadi. Suara tangis nan gaduh itu tentu bukan berasal dari satu orang. Ada dua yang mengangis. Oh, bukan, bukan dua. Ada tiga orang. Oh, bukan, bukan tiga. Sepertinya empat atau lima atau ... , ah entahlah..., yang pasti, anak Burma itu tidak sendirian, ada beberapa rekan senegaranya dalam aula itu, dan mereka semua mengangis sejadi-jadinya.

Apa ada yang salah dalam pertannyaan tadi? Salahkah seorang guru menanyakan kepada muridnya apa cita-citamu nanti? Segudang pertanyaan semisal ini tentu memenuhi isi kepala penghuni aula.

Dalam sejarah mengajarnya selama 37 tahun di kota Rosulullahu -sholallahu 'alaihi wassalam-, baru kali ini sang doktor mengalami peristiwa ini. Dia bingung, sebagaimana mahasiswa lainnya juga bingung, entah bagaimana harus bersikap.

Ketika ditanya mengapa mereka menangis, jawaban yang mereka berikan hanyalah isak tangis yang makin nyaring. Mereka tidak bisa menjawab dengan kata-kata, karena rasa sedih sedang menguasai hati dan pikiran mereka.

Malang nian anak-anak Burma itu, pasti obrolan hangat beberapa menit lalu seputar masa depan, baru saja membangkitkan kenangan perih masa lalu mereka. Kenangan, yang berusaha mereka kubur dalam-dalam di lubuk hati, agar dapat menghadapi tuntutan belajar di Universitas ini. Namun kini, semua itu bagaikan luka lama yang kembali terbuka kembali.

Pada menit-menit berikutnya, sang doktor mengalihkan topik pembicaraan. Dengan seribu satu cara, dia berusaha membuat mereka melupakan kejadian memilukan barusan. Tapi, sepertinya sia-sia saja, luka yang terbuka, tidak mungkin sembuh dalam hitungan menit.

Hingga akhirnya, datang juga saat-saat yang ditunggu, yaitu detik-detik terakhir jam pelajaran. Sang doktor, tentu sudah lama menunggu saat ini, dia tidak mau lama-lama terperangkap dalam lubang kesedihan yang tidak sengaja digalinya sendiri.

Pelajaran Usai.

Seminggu setelah kejadian itu, salah seorang dari mahasiswa Burma itu mendatangi sang doktor di luar jam pelajaran. Klarifikasi, itu tujuan utamanya.

“Dok”, ujarnya memulai penjelasan. “maafkan kami atas kejadian beberapa hari lalu. Sebenarnya, saya menangis karena teringat ayah saya. Pemerintah Burma mencekal dan memasukan beliau ke dalam penjara. Bukan itu saja. Mereka bilang, jika pulang ke Burma nanti, mereka akan memasukan saya ke penjara”, begitu pengakuan anak Burma itu.

Itu baru alasan salah seorang dari mereka, adapun rekan-rekannya yang lain, pasti juga punya alasan tersendiri. Apapun itu, yang telah membuat mereka terpaksa memerah air mata dihadapan forum belajar mahasiswa, pastilah bukan sesuatu yang sepele, pasti suatu hal yang serius dan juga sangat memilukan.

Penjelasan mahasiswa Burma tadi, sudah cukup untuk memperjelas duduk perkara tragedi di aula beberapa hari lalu. Hanya saja, masih terselip sebuah keganjilan. Mengapa mereka menangis serempak secara kompak?

Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata tangis segelintir anak Burma tadi adalah perwakilan dari jutaan tangis kaum muslimin lainnya di negri mereka. Tetesan air mata mereka, bukanlah apa-apa dibandingkan banjir air mata yang hampir setiap hari terjadi disana.

Arakan, begitulah nama daerah tempat mereka berasal. Arakan adalah nama sebuah daerah di barat laut Myanmar. Berbatasan langsung dengan negara Bangladesh di sebelah utara, teluk Benggali di sebela barat. Area seluas 20.000 mil persegi dihuni sekitar 4 juta jiwa yang 70 %-nya beragama islam. Area ini merupakan titik berkumpul kaum muslimin di Myanmar.

Ajaran agama islam memasuki Burma pada abad ke-8 hijriyah. Ditangan para da’i dan pedagang dari Bangladesh, ajaran islam berkembang pesat. Puncaknya adalah didirikan kerajaan islam di Arakan yang bertahan sekitar tiga setengah abad lamanya.

Inggris berhasil menjamah tanah ini pada tahun 1303 H. Setelah perang dunia kedua berakhir, Myanmar memprklamirkan kemerdekaan dan secara resmi mendeklarasikan berdirinya negara baru berazaskan ajaran agama Budha.

Di tangan pemerintah kafir inilah, kaum muslimin merasakan pahit getirnya hidup sebagai warga minoritas yang persentase mereka hanya 20% dari total penduduk Burma 45 juta jiwa.

Terlebih, sejak komunis mengambil alih pemerintahan pada tahun 1382 H, siksaan hidup semakin bertubi-tubi. Pemerintah mengambil alih kepemilikan sebagian besar harta benda kaum muslimin, baik yang merupakan prasarana umum seperti masjid, dan tanah-tanah wakaf, hingga harta pribadi seperti tanah, ladang, pabrik, hingga kios-skios kecil penjual beras.

Itu semua merupakan implementasi paham komunis yang mengingkari adanya kepemilikan harta benda secara pribadi, dan bahwasanya semua kekayaan harus dinikmati semua orang yang prosesnya diatur negara. Padahal kenyataannya, hanya segelintir pejabat negaralah yang menikmati kekayaan.

Runtuhnya paham komunis beberapa dekade lalu, tidak membawa angin segar bagi perubahan nasib kaum muslimin Burma. Pemerintahan militer Myanmar ternyata tidak kalah kejam dari komunis. Selama dua puluh tahun terakhir ini, kaum muslimin disana mengahadapi tekanan pemerintah setempat yang memaksa setiap warga muslim untuk mengganti aqidahnya dengan aqidah paganisme Budha.

Mereka yang menolak tawaran iblis tadi, akan menghadapi 1001 macam tekanan dari pihak pemerintah. Tidak memperoleh hak belajar, tidak diperkenankan bekerja di badan usaha manapun, baik negri atau swasta, tidak memperoleh KTP, tidak di akui sebagai warga negara, dan sejenisnya, merupakan resiko teringan yang mereka hadapi. Adapun resiko beratnya, terlalu memilukan untuk ditulis disini, terlebih lagi apa yang dihadapi para wanita muslimah. Cukuplah kisah pilu para sahabat seperti Bilal, ‘Ammar bin Yasir, Khobbab bin ‘Arat, dan lainnnya sebagai gambaran, kira-kira cobaan macam apa yang akan diterima oleh orang-orang yang tegar di atas agamanya.

“kami dilarang bepergian dari satu kota ke kota lain. Kalau ingin pergi ke kota lain, kami diharuskan mengajukan surat izin terlebih dahulu. Tapi jangan terlalu harap mereka akan mengabulkannya”, ujar salah seorang mahasiswa Burma suatu hari kepada rekannya sesama mahasiswa.

Tidak ada tamasya, tidak ada jalan-jalan, tidak ada kebun binatang. Bisa dibayangkan bagaimana tertekannya mereka. Kalau di Indonesia, bepergian ke kota lain bisa dianggap sebagai tamasya, tapi di Burma itu sama saja dengan mengantar nyawa.

Pemerintahan iblis ini kelihatanya sangat bernafsu sekali untuk mengubah tanah Arakan menjadi kota Budha, terbukti dengan sepak terjang mereka selama ini yang tidak bisa dikatakan sebagai tindakan manusiawi terhadap warga muslim.

Mereka secara brutal mengusir sebagian warga muslim disana, mengahancurkan desa-desa mereka, dan memaksa mereka untuk berhijrah ke Bangladesh. Tidak hanya itu, mereka juga dianggap sebagai imigran gelap. Kemudian, diatas reruntuhan desa mereka, dibangun pemukiman baru bagi warga Budha.

Mungkin, perasaan kaum muslimin Burma ketika memandang pagoda-pagoda disana tidak jauh beda dengan perasaan bani isroil Musa –‘alaihissallam- ketika memandang piramid. Bedanya, mereka tidak merasakan pahitnya kerja rodi untuk membangunnya, namun sakitnya siksaan, kehinaan yang mereka rasakan tidak jauh berbeda.

Untungnya, negara zalim ini tidak cukup kaya dan tidak cukup pintar untuk mengembangkan senjata pemusnah massal. Kalau tidak, mungkin akan terjadi Holocoust besar di tanah Arakan. Atau kemungkinan nasib kaum muslimin Burma akan berakhir seperti suku Indian Cheerokee yang dibantai penguasa Amerika puluhan tahun silam menggunakan senjata kimia, demi mengubah tanah Indian menjadi lahan pembangunan modern.

Selain itu, mereka juga sangat gencar mempropagandakan kebudayaan Budha kepada para remaja sambil berusaha sebiasa mungkin melenyapkan setiap hal yang berbau islam. Jilbab, jenggot, dan syiar-syiar ibadah lainnya haram diperlihatkan.

Tidak tahan dengan perlakuan pemerintah biadab itu, sebagian besar dari mereka hijrah ke berbagai tempat. Sampai saat ini, sudah lebih dari 50% warga muslim Burma yang mengungsi ke berbagai negara islam. Kondisi para pengungsi di Bangladesh adalah yang paling buruk. Pasalnya, angka kemiskinan disana sangat tinggi, ditambah lagi, sebagian besar wilayahnya rawan banjir. Tapi apa mau dikata, tidak ada pilihan lain, bagi mereka Bangladesh adalah negara Islam terdekat yang bisa dijangkau.

Sederetan fakta diatas, membuktikan bahwa kondisi umat islam di Burma merupakan kondisi terburuk yang dialami warga muslim minoritas di dunia ini.

Jadi, itulah alasannya mengapa anak Burma tadi bingung bagaimana menjawab pertanyaan sang dosen. Mereka tidak tahu mesti berbuat apa selepas kuliah nanti. Jangankan untuk menjadi pengusaha atau presiden, bercita-cita saja tak berani.

Semoga Allah ta'ala memberkahi benih-benih kebangkitan umat ini, dan memperbaiki kaum muslimin di penjuru dunia.
sumber : http://belajarislam.com/tarbiyah/927-mengapa-mahasiswa-burma-itu-menangis